Opini

Merenungkan Pertanian Kita : Catatan Lanjutan

oleh Baso Risal Fahlefi **

Belakangan ini kami para petani semakin sulit membendung kehadiran para hama dan gulma yang menggerogoti tanaman. Dari tahun ke tahun biaya pertanian juga semakin meningkat. Di sisi yang lain kemungkinan gagal panen semakin besar terjadi. Parahnya lagi, minat kaum muda untuk bertani juga semakin rendah. Kebanyakan anak muda lebih suka bekerja di kota-kota besar, menjadi tenaga kerja di industri yang mengeksploitasi negeri kami.

Pada titik ini, ada sebuah pertanyaan kritis.  Bagaimana pertanian di masa depan? Bisakah pertanian tetap terjaga dan menjaga keseimbangan ekologis dan rantai kebutuhan manusia? Seperti apa pengelolaan lahan di masa depan agar pertanian mampu menjadi penyeimbang antara antroposentris dan biosentris?

Sejak abad ke 17 pasca renasains, cara pandang manusia lebih banyak menggunakan paradigma ilmiah ala Descartes. Yang kemudian oleh pemikir setelahnya dikembangkan sebagai pandangan positivisik. Perubahan pandangan ilmiah ini terjadi, sebab di abad pertengahan,  geosentris –  sebuah pandangan yang melihat bumi sebagai pusat tata surya – tidak mampu mempertahankan diri sebagai pola pikir yang benar. Para ilmuwan menemukan fakta bahwa bumi itu bulat, tidak datar. Bumi juga bukan pusat tata surya, melainkan matahari.  Sehingga terjadi peralihan paradigma dari geosentrisme ke antroposentris yang menjadi cikal bakal kehidupan modern. Galileo, Francis Bacon, Nicolas Copernicus, Descartes, Isac Newton adalah tokoh yang sangat berpengaruh pada proses kudeta  ilmiah ini.

Paradigma positivisik kemudian menjadi suatu ciri ilmiah dalam kehidupan modern, dengan berbagai kemudahan yang ditawarkan. Berbagai teknologi ditemukan, sehingga manusia pun sakaw dengan cara berpikir yang seperti ini. Tak mengherankan jika hari ini belahan dunia manapun hampir menggunakan paradigma ini dalam proses pendidikannya.

Positivisik adalah cara berpikir yang melihat kebenaran sesuatu hanya dapat diakui apabila bisa diobservasi, dieksperimenkan, terindrai dan terukur. Dalam paradigma ini, manusia terus mencari takaran objektif sebuah pengetahuan untuk dikategorikan ilmiah. Ilmu dan pengetahuan adalah sesuatu yang berbeda. Ilmu merupakan pengetahuan manusia yang telah di buktikan keberadaan melalui metode ilmiah. Sedangkan pengetahuan merupakan informasi yang ada dalam benak manusia namun belum dapat dibuktikan kebenarannya.

Implikasi dari paradigma positivisik, peneliti diharuskan menjaga jarak dengan objek kajian untuk menemukan sebuah objektifitas yang ajeg. Sehingga manusia pun mulai berjarak antara dirinya dengan alam, karena alam adalah sebagai objek yang paling banyak dikaji.

Paradigma ilmiah ini melihat alam sebagai susunan balok bangunan yang saling terpisah satu sama lain. Kacamata yang digunakan untuk melihat alam adalah kacamata parsial. Sedemikian rupa alam berusaha untuk dikuasai dan berada di bawah kendali manusia. Tumbuhan dan alam bukan lagi satu kesatuan dengan diri manusia, namun telah menjadi objek yang terpisah dengan diri manusia. Alam sebagai alam, manusia sebagai manusia. Usaha manusia adalah mengendalikan alam.

Penemuan manusia dalam dunia ilmiah dewasa ini telah menawarkan banyak kemudahan untuk segala aktivitas kita, termasuk dalam dunia pertanian. Namun teknologi yang memudahkan ini, memiliki dampak terhadap ketidakseimbangan ekologis. Yang mana jika kita tinjau lebih jauh, gangguan keseimbangan sistem hidup alam secara serius menimbulkan keretakan-keretakan sosial dan banyaknya penyakit.

Antara Pandangan Ilmiah dan Tradisional

Pandangan ilmiah sangat berbeda dengan pandangan tradisional dalam melihat alam dan manusia. Pandangan tradisional melihat bahwa hakikat dasar untuk kehidupan memerlukan pertanian adalah untuk melestarikan integrasi siklus ekologi yang besar. Prinsip ini tercermin dalam metode pertanian tradisional, yang didasarkan atas penghormatan yang tinggi terhadap kehidupan. Dulu para petani punya kebiasaan menanam berbagai macam tanam pangan setiap tahun, untuk memutar keseimbangan di dalam tanah agar tetap dilestarikan. Tidak ada keperluan untuk pestisida, karena serangga yang tertarik pada suatu tanaman tertentu akan menghilang dengan adanya tanaman pangan berikutnya. Pun petani juga tidak menggunakan pupuk kimia melainkan memperkaya sawah ladang mereka dengan pupuk hijau, yang berarti mengembalikan materi tangan untuk memasuki siklus biologis.

Praktik pertanian tradisional yang pro ekologis ini berubah secara drastis  ketika petani beralih dari pupuk organik ke pupuk sintetis. Memang pupuk sintetis memiliki efek yang kasat mata terhadap tumbuhan. Dalam hitungan hari tanaman dengan cepat bertumbuh dan kembali menghijau. Namun di balik semua itu, terjadi ketidakseimbangan dalam unsur hara tanah. Tanah dipaksa untuk mengeluarkan unsur haranya dalam tempo yang singkat. Pemaksaan terhadap unsur ini bisa berakibat dengan hilangnya kegemburan tanah di masa depan.

Para petani juga mengalami perubahan paradigma, segalanya dilihat harus serba cepat dan yang penting tidak menguras banyak tenaga. Hal inilah yang ditawarkan dalam penggunaan pupuk kimia. Tenaga yang dikeluarkan terbilang sedikit. Dan dampak yang kasat mata dengan cepat terlihat. Namun demikian sisi gelap dari teknologi pertanian tidak membantu, baik para petani, tanah, dan tumbuhan. Setiap tahunnya, hasil pertanian tidak berkembang secara linear namun fluktuatif.  Bahkan sering kali petani mengalami gagal panen akibat dari ketidakmampuan mengendalikan hama. Biaya pertanian semakin meningkat karena penggunaan pupuk kimia dan pestisida yang juga meningkat. Akan tetapi hasil produksi terlihat stagnan bahkan cenderung turun.  Hal yang bisa kita simpulkan bahwa satu-satunya yang memiliki banyak keuntungan adalah korporasi pupuk dan pestisida.

Penggunaan pupuk kimia dan pestisida secara besar-besaran telah mengubah keseluruhan susunan pertanian. Industri membujuk kami para petani, bahwa menanam tanah dengan satu jenis tanaman tunggal (hanya padi) benar-benar menguntungkan dengan mengendalikan rerumputan dan hama melalui bahan kimia. Sejatinya hal ini tidak pernah menguntungkan posisi petani.

Hanya saja posisi petani terjepit, pupuk dan pestisida telah menjadi kebutuhan pokok dalam sistem pertanian modern. Di awal musim tanam terkadang modal mereka tidak mencukupi untuk keperluan tersebut. Dengan terpaksa, para petani meminjam uang pada perbankan agar bisa memenuhi kebutuhan pokok pertanian, dalam hal ini pupuk dan pestisida. Tidak menggunakan keduanya sama halnya merencanakan kegagalan.

Akibat lain dari praktik monokultur tanaman tunggal adalah hilangnya keragaman genetik dalam jumlah besar dalam tanah pertanian. Konsekuensinya bisa berhektar-hektar tanaman monokultur pangan tanggal menjadi hancur satu hama tunggal. Penggunaan pestisida untuk mengendalikan hama membuat terjadinya ledakan hama sekunder. Hama menjadi kebal oleh pestisida. Mau tidak mau para petani harus menambah dosis pestisida mereka atau mengganti dengan jenis pestisida yang lain. Penambahan dosis ini tentu memiliki dampak yang sangat besar terhadap kesehatan manusia. Pestisida yang bertujuan untuk menghilangkan keberadaan hama, secara perlahan justru menyerang keberadaan manusia dengan semakin banyaknya penyakit yang muncul dan sulit di atas dalam dunia kesehatan.

Penggunaan pupuk kimia yang berlebihan juga mempengaruhi proses fiksasi nitrogen alam secara serius dengan merusak bakteri-bakteri di dalam tanah yang terlibat dalam penggemburan tanah. Sebagai konsekuensinya, tanaman pangan menjadi kehilangan kemampuannya untuk menyerap unsur hara dari tanah dan lebih ketagihan pada proses bahan kimia sintetis. Ketidakseimbangan ekologis yang disebabkan oleh tanaman pangan tunggal dan penggunaan pupuk kimia yang berlebihan menimbulkan peningkatan hama dan penyakit tanaman yang luar biasa. Solusi untuk menambah dosis pada pestisida, hanya menjadi sebuah lingkaran setan yang semakin parahnya. Karena semakin tinggi dosisnya, semakin tinggi risiko penyakit yang ditimbulkan, dan ledakan hama sekunder kapan pun bisa terjadi.

Pada akhirnya kita berada pada bayangan kesadaran bahwa yang paling banyak mengambil keuntungan dari pertanian adalah industri Petrokimia – pupuk kimia dan pestisida. Petani menguras begitu banyak tenaga, akan tetapi mereka mendapatkan keuntungan yang sedikit, yang terkadang hanya cukup untuk pemenuhan kebutuhan hidup. Dalam kondisi seperti ini, perlu kiranya kita menilik kembali metode  pertanian tradisional yang melihat tatanan alam sebagai satu kesatuan yang organik.

Penulis bergiat di Komunitas Literasi Sekolah Rakyat

Related posts
Berita

Ratusan Warga Wajoriaja Nobar Film Ase

  Wajo — Pemutaran film “ASE: Come From Quite A Distance” menjadi salah satu rangkaian hajatan Pesta Panen masyarakat Desa Wajoriaja, Kecamatan Tanasitolo….
Opini

Menyoal Sistem Pertanian Kita

oleh Baso Risal Fahlefi (Pegiat Sekolah Rakyat)** Saya pernah begitu marah. Bukan kepada orang lain. Tetapi kepada diri sendiri. Saat mulai menyadari…
Opini

Tentang Moralitas Dalam Pertanian: Sebuah Nasihat Dari Petta Latadampare Puang Rimaggalatung.

oleh Baso Risal Fahlefi (Pegiat Komunitas Literasi Sekolah Rakyat) ** Pandangan leluhur kita, selalu mengendepankan laku daripada tahu. Bagi mereka, puncak dari…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *