Opini

Jeratan Elit Dalam Pilkada

Oleh A.Achmad Fauzi Rafsanjani **

Seorang pria duduk termenung memikirkan nasib politiknya. Keinginannya ikut serta dalam perebutan tahta di salah satu daerah hampir dipastikan kandas. Dukungan partai politik yang ia kantongi belum cukup untuk memasuki medan laga. Padahal di akar rumput, namanya menggema.

Jauh sebelum lonceng pertandingan dibunyikan, ia dielu-elukan sebagai sosok yang paling layak menggantikan petahana. Ia dianggap memahami dengan baik setiap jengkal persoalan yang dihadapi daerah itu. Ia tidak akan gagap ketika menjabat, karena pernah malang melintang sebagai seorang birokrat. Banyak pihak yang percaya, ia mampu meracik resep terbaik untuk kemajuan daerah mereka.

Namun meniti jalan menuju kekuasaan bukan perkara mudah. Tidak cukup dengan prestasi dan perangai yang baik. Apalagi kalau hanya bermodalkan slogan-slogan pengabdian yang diobral pada baliho dan poster.

Untuk ikut bertanding, seorang bakal calon kepala daerah membutuhkan tiket dari partai politik. Di daerah itu, satu tiket sebanding dengan delapan kursi wakil rakyat di parlemen kabupaten. Mahar kursi setiap partai berbeda-beda. Rumornya harga satu kursi berkisar satu sampai dua miliar rupiah. Tergantung dari jumlah kursi yang disediakan oleh masing-masing partai politik.

Seorang kandidat bisa saja menempuh rute yang lain melalui jalur independen. Tiket dari jalur ini diperoleh melalui dukungan perseorangan oleh masyarakat. Bakal calon kepala daerah diwajibkan mengumpulkan puluhan ribu salinan kartu tanda penduduk (KTP) dari warga. Namun jalan ini bukan tanpa biaya. Tidak semua orang akan memberikan salinan KTP-nya secara sukarela. Dan sebagian yang lain juga enggan memberikan identitasnya sekalipun itu dibayar. Mereka khawatir kartu identitasnya disalahgunakan oleh tangan-tangan yang tidak bertanggung jawab.

Kejadian yang dialami pria itu bukan fenomena baru dalam lanskap demokrasi di republik ini. Di banyak daerah, hal serupa sering kali terjadi. Orang-orang yang punya kompetensi dan rekam jejak yang baik dipaksa menepi dari medan pertarungan, karena tidak mendapatkan restu dari pembesar partai. Dan hal itu juga dialami oleh sebagian dari mereka yang ikut membesarkan partai dan memulai jenjang kepartaian dari bawah.

Dalam studinya tentang kepartaian Indonesia di era reformasi, Kuskridho Ambardi menjelaskan, perilaku partai politik tidak lagi diarahkan oleh ideologi partai. Langkah yang ditempuh tidak mencerminkan kepentingan segmen sosial yang mereka wakili. Partai politik tidak lagi menjadi sabuk transmisi yang menghubungkan antara pemerintah dan masyarakat. Interaksi antar partai politik menjadi sangat cair. Ibarat kalkulator, hal yang mereka putuskan selalu mengacu pada kalkulasi untung-rugi.

Absennya ideologi dalam perilaku partai, menurut Kuskridho, tidak dapat dipisahkan dari kepentingan partai politik yang ingin menjaga kelangsungan hidupnya. Hal tersebut hanya dapat dilakukan apabila partai politik menjaga sumber keuangan yang ada, yang bersumber dari pemerintah. Sumber keuangan yang dimaksud bukan yang berasal dari pendanaan publik yang sah, melainkan dari aktivitas perburuan rente. Dan aktivitas ini hanya dimungkinkan apabila partai politik punya akses ke jabatan pemerintahan dan parlemen.

Mahalnya biaya politik membuka peluang bagi kekuatan uang untuk mendikte jalannya demokrasi. Demokrasi tidak lagi dimaknai sebagai rute untuk menemukan kesejahteraan bagi masyarakat, melainkan menjadi rumus bagi bersenyawanya politisi dan pemodal. Dengan tangan terbuka, partai politik memberikan karpet merah bagi para pemodal untuk menduduki posisi-posisi strategis di intenal partai tanpa melalui kaderisasi. Dengan status sebagai politisi, pemodal berupaya merebut dan mengontrol jabatan publik untuk mengamankan jaringan bisnis, dan menguasai sumber daya yang dapat diolah menjadi gepokan. Dan partai politik akan menerima royalti sebagai imbalan.

Yusran Darmawan dalam “Sebuah Kisah di Tepi Gedung KPK” mengulas bagaimana keterlibatan pengusaha dan kontraktor sebagai penyokong dana dalam pilkada, mengharuskan seorang kepala derah terpilih memberikan balas jasa. Mekanisme pengadaan barang dan jasa, serta tender proyek disiasati sedemkian rupa, guna memenangkan seseorang atau kelompok tertentu. Setelah dimenangkan, mereka harus menyiapkan setoran kepada kepala daerah untuk memuluskan kemenangan pada tender paket program yang lain.

Karena itu, tidak mengherankan apabila pada momentum pilkada, sejumlah partai politik justru bermetamorfosis menjadi pasar bebas. Mereka akan memihak kepada kandidat yang bersedia memberikan bayaran tertinggi, walaupun kandidat itu tak pernah merapalkan keadilan sosial. Dan mereka tidak akan menyoal apabila hal itu harus mengorbankan kader, kebijakan dan program ideologis partai.

Sejak awal pola semacam ini sudah dipahami oleh pria itu. Pun dengan basis sosial yang mendukungnya. Bukan rahasia, bagaimana arah dan peta pilkada yang hanya diputuskan oleh segelintir orang. Maju tidaknya seorang kandidat, jumlah pasangan calon yang akan bertanding, sangat bergantung pada hasil konsolidasi pemodal dan penguasa partai. Kata netizen, kemenangan akan ditentukan oleh sosok king maker yang bekerja di belakang kandidat. Sedangkan masyarakat, tidak lebih dari aksesoris demokrasi, yang dibaca sebagai angka, yang suaranya hanya diperlukan sekali dalam lima tahun.

Wallahu a’lam bishawab.

Penulis bergiat di komunitas  literasi Sekolah Rakyat

Related posts
BeritaPilkada WajoPolitik

Hadiri Maulid Nabi di Masjid Babussalam Uraiyang, Warga Minta dr Baso Pimpin Wajo Secepatnya

MAJAULENG – Calon Wakil Bupati Wajo, dr Baso Rahmanuddin bertemu sejumlah tokoh masyarakat Uraiyang, Kecamatan Majauleng, Kabupaten Wajo, Jumat (20/9/2024). Agenda tersebut…
Berita

Mantan Wakapolres Makassar Barat Dukung Paslon AR-Rahman di Pilkada Wajo : Keduanya Punya Nurani Untuk Wajo

PITUMPANUA – Purnawirawan Polisi sekaligus mantan DIR TAHTI Polda Sulsel bakal all out dukung paslon Bupati dan Wakil Bupati, Andi Rosman-dr Baso…
Berita

Ada Strategi Khusus Tumbangkan Pammase, Kordes AR-Rahman Bilang Begini Saat Bertemu dr Baso

PITUMPANUA – Calon Wakil Bupati Wajo, dr Baso Rahmanuddin temui puluhan kordinator Desa/Kelurahan di Posko Pemenangan Kecamatan Pitumpanua, Kabupaten Wajo, Sulawesi Selatan…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *