Opini

Merenungkan Pertanian Kita : Sebuah Catatan Pengantar

Banyak pertanyaan yang menggugat sistem pertanian kita hari ini. Semisal, bagaimana sistem pertanian mampu memenuhi kebutuhan pangan manusia yang kian tahun semakin bertambah, yang pada tahun 2050 diperkirakan akan mencapai 9 miliyar jiwa? Bagaimana mewujudkan keadilan di dalam sistem pertanian kita? Dan bagaimana pertanian dilakukan tanpa eksploitasi alam yang berlebihan? Pada intinya sistem pertanian kita dituntut untuk mengejawantahkan kesinambungan hidup dan keseimbangan ekologis.

Jika diperhatikan, sistem pertanian secara global mengalami ketimpangan yang luar biasa. Semisal petani di Amerika Serikat yang jumlahnya hanya 3 persen mampu melakukan ekspor pangan ke Afrika yang lebih dari separuh masyarakatnya berprofesi sebagai petani.

Untuk menjawab hal itu, mesti ada penelusuran mendalam meniti kesejarahan umat manusia. Seperti melihat keterlibatan IMF dalam sistem pangan global. Bahwa sistem pangan kita tidak bisa dilepas dari suatu rantai komoditas, mulai dari produksi sampai sirkulasi hingga konsumsi yang bercorak kapitalistik.  Corak ini adalah suatu urusan politik yang merupakan pertarungan kekuatan pada skala dunia. Ini satu fenomena yang juga harus dijawab, namun tidak pada tulisan ini.

Pertanyaan lainnya adalah bagaimana pertanian mampu dijalankan selaras dengan alam? Sebagaimana yang  telah nampak di hadapan kita bahwa praktik-praktik pertanian yang dominan menggunakan bahan kimia sintetis merupakan praktik pertanian yang tidak berkelanjutan, dan dapat mengarah pada pengikisan kesuburan lahan serta penurun mutu pertanian.

Penggunaan bahan kimia sintetis secara berlebihan seperti pupuk atau racun pembasmi hama dan gulma dapat merusak kesehatan manusia serta menciptakan daerah-daerah yang mematikan di sungai, danau dan laut. Pembabatan tetumbuhan alam, pengenalan tetanaman tunggal (monokultur) dan penggunaan bahan kimia sintetis memusnahkan keanekaragaman hayati. Maka tidak keliru jika kita membuka kemungkinan bagi anggapan yang melihat sistem pertanian modern sebagai pembunuh terbesar spesies-spesies kehidupan yang pernah ada di muka bumi. Meski sistem pertanian kita dapat menghasilkan pangan yang kita butuhkan untuk bertahan hidup. Namun di sisi yang lain juga dapat menghasilkan berbagai penyakit serta racun-racun pembunuh.

Banyak dampak buruk dari sistem pertanian modern justru dirasakan di luar kawasan pertanian itu sendiri. Itulah yang disebut sebagai “tanggungan luar”, yang beban biayanya akan ditanggung oleh masyarakat atau generasi yang akan datang.

Sistem pertanian juga salah satu penyebab utama perubahan iklim. Kegiatan pertanian di seluruh dunia andil menyumbang 13 persen dari pelepasan rumah kaca. Sumber terbesarnya adalah pembuatan dan penggunaan pupuk nitrogen yang melepas nitro-oksida, satu jenis gas rumah kaca yang 300 kali lebih kuat dibanding karbondioksida. Secara tidak langsung, pertanian juga ikut bertanggung jawab atas 17 persen gas-gas rumah kaca yang berasal dari kegiatan pembabatan hutan.

Produksi gas-gas rumah kaca memang tidak berdampak langsung bagi petani namun itu menjadi salah satu penyebab pemanasan global yang akan mengancam sistem pertanian pada dasawarsa-dasawarsa berikutnya. Sisa-sisa unsur nitrat dan racun pembasmi hama yang hanyut akan menurunkan mutu air bagi petani di bagian hilir, selain akan mencemari usaha pertanian yang menjadi sumber utama protein kita. Sisa racun tersebut juga memberangus keanekaragaman hayati yang dibutuhkan para ilmuwan untuk menyilang dan menemukan tetanaman yang tahan hama.

***

Berbagai problematika sistem pertanian moderen yang kita hadapi, pada akhirnya menjadi jalan bagi kita untuk kembali melakukan penelusuran terhadap agroekologi sistem pertanian masyarakat Bugis.  Segala bentuk aktivitas manusia tentu tidak lepas dari kebudayaan yang berkembang di sekelilingnya. Begitupula dengan aktivitas bertani yang lahir dari pemahaman mendalam tentang tanah, tanaman dan alam semesta.

Kita perlu menyakini, bahwa paradigma holistik masyarakat Bugis melihat segala hal saling memengaruhi satu sama lain. Pemosisian ini membuat manusia jadi manusia mawas diri, tidak mengobjetifikasi alam. Bahwa manusia hanya bagian kecil di alam raya ini. Bukan penguasa. Kesadaran holistik ini yang akan menghindarikan kita dari eksploitasi berlebihan terhadap alam. Karena merusak alam sama halnya merusak diri sendiri.

Penulis : Baso Risal Fahlefi (pegiat di komunitas literasi Sekolah Rakyat)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *