Site icon Sulsel Kita

Pilkada Dalam Perspektif Sufisme : Cinta, Keadilan dan Kebijaksanaan

Pilkada merupakan momen krusial dalam kehidupan berdemokrasi, di mana masyarakat diberi kesempatan untuk memilih pemimpin yang akan mengarahkan nasib mereka. Dalam konteks ini, pandangan sufisme menawarkan perspektif yang mendalam tentang nilai-nilai yang seharusnya mendasari setiap keputusan politik. Sufisme, dengan pendekatannya yang mistis dan spiritual, mengajak kita untuk melihat pemilihan pemimpin bukan hanya dari sudut pandang politik pragmatis, tetapi juga dari dimensi cinta, keadilan, dan kesadaran spiritual.

Salah satu ajaran utama dalam sufisme adalah pentingnya cinta sebagai pendorong utama dalam segala tindakan. Rumi, seorang sufi besar, menyatakan bahwa “ketika cinta datang, pena-pena akan patah.” Kalimat ini menggambarkan bahwa ketika cinta sejati mengisi hati, semua bentuk penilaian dan analisis rasional dapat terabaikan. Dalam konteks pilkada, ini menandakan bahwa ketika kita memilih dengan cinta dan kepedulian terhadap sesama, keputusan yang diambil akan murni dan tulus, tanpa terpengaruh oleh kepentingan pribadi atau ambisi politik.

Cinta dalam sufisme bukan hanya sekadar emosi; ia adalah kekuatan transformatif yang mampu membawa perubahan positif dalam masyarakat. Pemilih yang mengedepankan cinta akan lebih cenderung memilih pemimpin yang tidak hanya memperjuangkan kepentingan mereka sendiri, tetapi juga mencintai rakyat dan bersedia melayani dengan tulus. Keadilan sebagai wujud dari cinta, menjadi prinsip utama yang harus ditegakkan oleh setiap pemimpin. Seperti yang diajarkan oleh Al-Qur’an, “Sesungguhnya Allah memerintahkan kalian untuk berlaku adil.” Keadilan yang dipenuhi cinta akan menciptakan harmoni dalam masyarakat, di mana setiap individu merasa dihargai dan dilindungi.

Sufisme juga menekankan pentingnya musyawarah dan dialog sebagai sarana untuk mencapai kebijaksanaan. Dalam proses pemilihan, dialog terbuka antara calon pemimpin dan masyarakat sangat diperlukan untuk menciptakan saling pengertian dan kepercayaan. Sufisme mengajarkan bahwa kebijaksanaan muncul dari keterhubungan dan komunikasi yang baik. Melalui musyawarah, kita dapat mengatasi perbedaan dan menemukan solusi bersama yang lebih baik.

Etika dalam berpolitik menjadi aspek penting lainnya yang diangkat dalam perspektif sufisme. Pemimpin yang baik adalah mereka yang tidak hanya memahami kekuasaan, tetapi juga bertanggung jawab terhadap amanah yang diberikan oleh rakyat. Dalam konteks ini, kejujuran, integritas, dan pengabdian adalah nilai-nilai yang harus dijunjung tinggi. Al-Ghazali, seorang tokoh sufisme terkemuka, mengingatkan kita bahwa “barang siapa yang berbuat jahat, ia akan merugi.” Hal ini menunjukkan bahwa tindakan yang tidak etis dalam politik akan berdampak buruk tidak hanya pada individu, tetapi juga pada masyarakat secara keseluruhan.

Transformasi diri adalah tema sentral dalam sufisme. Sebelum kita berharap untuk memilih pemimpin yang baik, kita sendiri harus melakukan introspeksi dan memperbaiki diri. Sufisme mengajarkan bahwa perubahan dimulai dari dalam diri. Ketika kita meningkatkan kualitas diri, kita akan lebih mampu memilih pemimpin yang sesuai dengan nilai-nilai yang kita anut. Dengan demikian, pilkada bukan sekadar memilih figur publik, tetapi juga tentang mengedukasi diri dan masyarakat untuk mengambil keputusan yang bijaksana dan bermanfaat.

Dalam dunia yang sering terbelah oleh perbedaan politik, sufisme mengajak kita untuk menjaga persatuan dan harmoni. Keterlibatan dalam pilkada harusnya tidak menjadi ajang perpecahan, tetapi sebagai sarana untuk menyatukan visi dan misi demi kebaikan bersama. “Janganlah kalian saling benci dan saling menjatuhkan,” demikian sabda Nabi Muhammad SAW, menekankan pentingnya menjaga hubungan baik meskipun kita memiliki pilihan yang berbeda.

Secara keseluruhan, pandangan sufisme dalam pilkada mengajak kita untuk menjadikan cinta sebagai landasan dalam memilih pemimpin. Ketika kita mengutamakan cinta dan keadilan, serta menjunjung tinggi etika dan kebijaksanaan, kita akan mewujudkan masyarakat yang lebih baik. Dengan mengingat bahwa “ketika cinta datang, pena-pena akan patah,” kita diingatkan untuk mengedepankan nilai-nilai spiritual dalam setiap langkah, menjadikan pemilihan ini sebagai momentum untuk transformasi yang positif. Hanya dengan cara ini, kita dapat berharap untuk menghadirkan pemimpin yang tidak hanya berkuasa, tetapi juga membawa kedamaian dan keadilan bagi seluruh umat.

Penulis : Muhammad Syawal, S.E.,M.E. (penulis merupakan pemuda dari pinggiran republik).

 

 

Exit mobile version