PENDAHULUAN
Perilaku kekerasan seksual dengan berbagai bentuk kini semakin marak terjadi. Kekerasan seksual merupakan masalah perilaku serta masalah sosial yang memiliki dampak negatif bagi korban, keluarga, teman serta bagi lingkungan. Tujuan prevensi terhadap kekerasan seksual adalah mencegah terjadinya perilaku kekerasan seksual sesegera mungkin.
Perilaku kekerasan seksual bisa dilakukan oleh laki-laki maupun perempuan kepada siapa pun termasuk istri atau suami, pacar, orang tua, saudara kandung, teman, kerabat dekat, hingga orang yang tak dikenal. Kekerasan seksual pun dapat terjadi kapan dan di mana saja, termasuk rumah, tempat kerja, sekolah, atau kampus.
Saat ini banyak sekali pemberitaan tentang terjadinya kekerasan seksual di lingkungan pendidikan. Tentunya hal ini mencoreng nama baik institusi pendidikan yang seharusnya menjadi tempat yang aman bagi siswanya. Kekerasan seksual bisa mencabut kesempatan siswa untuk bisa memperoleh pendidikan dengan baik.
Lembaga pendidikan yang seharusnya menjadi tempat yang aman untuk memperoleh ilmu, nyatanya menjadi tempat terjadinya kejahatan yang dilakukan oleh orang yang tidak bertanggung jawab dan mengerikan. Komisioner Komnas Perempuan, Siti Aminah Tardi, mengatakan bahwa pada periode tahun 2015-2021 terjadi kekerasan seksual 87,91 persen dari 67 kasus kekerasan terhadap perempuann yang terjadi di Lingkungan pendidikan.
Perlu diingat bahwa kekerasaan seksual tidak hanya dilakukan oleh laki-laki kepada perempuan saja. Tetapi sebaliknya, perempuan pun berpotensi untuk melakukan kekerasan seksual kepada laki-laki. Untuk itu stereotip dominasi budaya patriarki terkait perilaku kekerasan seksual yang dilakukan oleh kelompok gender laki-laki harus diubah. Begitu pula terhadap pandangan bahwa hanya tenaga pendidik atau staf lembaga pendidikan yang dapat melakukan kekerasan seksual terhadap peserta didik yang harus dihilangkan, sebab peserta didik pun dapat melakukan kekerasan seksual terhadap tenaga pendidik atau staf lembaga pendidikan. Agar perilaku kekerasan seksual khususnya dalam dunia pendidikan dapat dicegah serta dikurangi, maka prevensi psikologi pendidikan terhadap perilaku kekerasan seksual menjadi diperlukan.
PEMBAHASAN
Prevensi secara etimologi berasal dari bahasa latin yatu praevenire, yang artinya datang sebelum atau antisipasi, atau mencegah untuk tidak terjadi sesuatu. Dalam pengertian yang sangat luas, prevensi diartikan sbegai upaya secara sengaja dilakukan untuk mencegah terjadinya ganggguan, kerusakan, atau kerugian bagi seseorang atau masyarakat. (Notosoedirdjo dan Latipun, 2005 : 145).
Psikologi pendidikan adalah sebuah studi yang sistematis mengenai proses-proses dan faktor-faktor yang berkaitan dengan pendidikan manusia (Whetherington, 1982). Muhibin Syah (2002) mendefinisikan bahwa psikologi pendidikan sebagai suatu disiplin psikologi yang menyelidiki masalah psikologis yang ada dalam dunia pendidikan.
Menurut badan kesehatan dunia, WHO, kekerasan seksual dapat diartikan sebagai segala upaya, baik fisik maupun verbal, yang mengarah pada seksualitas atau organ seksual seseorang tanpa mendapatkan persetujuan, serta memiliki unsur paksaan atau ancaman. Pelakunya tidak terbatas oleh gender dan hubungan dengan korban.
Kekerasan seksual tidak hanya dalam bentuk kekerasan fisik saja, tetapi kekerasan seksual memiliki berbagai masam bentuk. Dalam Permendikbud Ristek 30 dijelaskan bahwa kekerasan seksual mencakup tindakan yang dilakukan secara verbal, nonfisik, fisik, dan atau melalui teknologi informasi dan komunikasi. Adapun bentuk-bentuk kekerasan seksual sesuai Permendikbud Ristek 30 tahun 2021, meliputi:
- Menyampaikan ujaran yang mendiskriminasi atau melecehkan tampilan fisik, kondisi tubuh, dan/atau identitas gender korban.
- Memperlihatkan alat kelaminnya dengan sengaja tanpa persetujuan korban.
- Menyampaikan ucapan yang memuat rayuan, lelucon, dan/atau siulan yang bernuansa seksual pada korban.
- Menatap korban dengan nuansa seksual dan/atau tidak nyaman.
- Mengirimkan pesan, lelucon, gambar, foto, audio, dan/atau video bernuansa seksual kepada korban meskipun sudah dilarang korban.
- Mengambil, merekam, dan/atau mengedarkan foto dan/atau rekaman audio dan/atau visual korban yang bernuansa seksual tanpa persetujuan korban.
- Mengunggah foto tubuh dan/atau informasi pribadi korban yang bernuansa seksual tanpa persetujuan korban.
- Menyebarkan informasi terkait tubuh dan/atau pribadi Korban yang bernuansa seksual tanpa persetujuan korban.
- Mengintip atau dengan sengaja melihat Korban yang sedang melakukan kegiatan secara pribadi dan/atau pada ruang yang bersifat pribadi.
- Membujuk, menjanjikan, menawarkan sesuatu, atau mengancam korban untuk melakukan transaksi atau kegiatan seksual yang tidak disetujui oleh korban.
- Memberi hukuman atau sanksi yang bernuansa seksual.
- Menyentuh, mengusap, meraba, memegang, memeluk, mencium dan/atau menggosokkan bagian tubuhnya pada tubuh korban tanpa persetujuan korban.
- Membuka pakaian Korban tanpa persetujuan korban.
- Memaksa Korban untuk melakukan transaksi atau kegiatan seksual.
- Mempraktikkan budaya komunitas mahasiswa, pendidik, dan tenaga kependidikan yang bernuansa kekerasan seksual.
- Melakukan percobaan perkosaan, namun penetrasi tidak terjadi.
- Melakukan perkosaan termasuk penetrasi dengan benda atau bagian tubuh selain alat kelamin.
- Memaksa atau memperdayai korban untuk melakukan aborsi.
- Memaksa atau memperdayai korban untuk hamil.
- Membiarkan terjadinya kekerasan seksual dengan sengaja.
- Melakukan perbuatan kekerasan seksual lainnya.
Prevensi psikologi pendidikan terhadap perilaku kekerasan seksual dalam dunia pendidikan, yaitu:
- Pengubahan stereotip dominasi budaya patriarki terkait perilaku kekerasan seksual yang dilakukan oleh kelompok jender laki-laki.
- Pembelajaran seksual (sex education)
Pemberian Informasi tentang faktor-faktor resiko terkait terjadinya kekerasan seksual antara lain adalah: aktivitas seksual pada tingkat yang tinggi, konsumsi alkohol dalam interaksi interpersonal antar lawan jenis (Ottens & Black, 2000), dan komunikasi yang ambigu dalam hubungan interpersonal lawan jenis.
- Peningkatkan keamanan lembaga pendidikan sehingga menciptakan lingkungan pendidikan yang aman
Lembaga pendidikan harus menciptakan lingkungan pendidikan yang aman. Lingkungan yang bisa melindungi setiap warganya dari setiap tindakan kekerasan, termasuk kekerasan seksual. Sistem keamanan di lembaga pendidikan harus berjalan dengan baik. Pemasangan CCTV di berbagai sudut. Security, petugas piket, penjaga dan guru/dosen secara berkala berbagi tugas untuk menyisir setiap sudut dan tempat-tempat di area sekolah.
Apabila terjadi pelecehan seksual di sekolah pastikan sekolah tidak menutupi kasus tersebut tetapi melindungi korbannya, memastikan keamanan korban, dan mengawal kasus tersebut untuk diselesaikan secara hukum. Jika sekolah dapat menciptakan lingkungan yang aman, maka kasus kekerasan seksual bisa dicegah sehingga tidak ada lagi siswa yang menjadi korban kekerasan seksual.
- Pengembangan kebijakan hukum yang memberi hukuman yang pantas bagi pelaku kekerasan seksual dan pengembangan kebijakan yang mampu meningkatkan perlakuan atau intervensi kepada korban paska terjadinya tindakan kekerasan seksual kepada mereka.
Strategi kebijakan hukum ini sesuai dengan prinsip penanggulangan perilaku agresi dalam psikologi sosial terkait dengan pemberian hukuman sebagai instrumen efektif untuk prevensi dan intervensi perilaku kekerasan, termasuk kekerasan seksual. Hukuman yang setimpal bagi pelaku kekerasan seksual akan dapat mencegah prevalensi terjadinya perilaku kekerasa seksual (Hanurawan, 2010).
SIMPULAN
Perilaku kekerasan seksual adalah perilaku agresi pelaku terhadap karakteristik seksual objek sasaran (korban) yang dapat dilakukan baik secara fisik maupun verbal, yang mengarah pada seksualitas atau organ seksual seseorang tanpa mendapatkan persetujuan, serta memiliki unsur paksaan atau ancaman. Kekerasan seksual dapat terjadi di mana dan kapanpun serta dapat dilakukan oleh siapa saja, baik orang yang dianggap asing atau oleh orang terdekat sekalipun..
Banyaknya kasus kekerasan seksual yang terjadi di dunia pendidikan Indonesia menjadikan institusi pendidikan yang semulanya dinilai sebagai tempat yang membuat nyaman baik bagi peserta didik maupun tenaga pendidik untuk melakukan proses belajar mengajar malah tercoreng dan menjadi tempat yang rawan akan kejahatan dilakukan oleh orang yang tidak bertanggung jawab dan mengerikan.
Strategi prevensi psikologi pendidikan dapat dilakukan untuk mencegah terjadinya perilaku kekerasan seksual dalam dunia pendidikan. Prevensi yang dapat dilakukan berupa; Perubahan pandangan bahwa kekerasan seksual hanya dilakukan oleh laki-laki saja; Pemberian pembelajaran seksual (sex education); Peningkatkan keamanan lembaga pendidikan sehingga menciptakan lingkungan pendidikan yang aman; serta Pengembangan kebijakan hukum yang memberi hukuman yang pantas bagi pelaku kekerasan seksual dan pengembangan kebijakan yang mampu meningkatkan perlakuan atau intervensi kepada korban paska terjadinya tindakan kekerasan seksual kepada mereka.
Dengan adanya prevensi psikologi pendidikan terhadap perilaku kekerasan seksual dalam dunia pendidikan diharapkan dapat mencegah dan mengurangi terjadinya kekerasan seksual khususnya di dunia pendidikan Indonesia.
Minarni
Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
Universitas Pendidikan Indonesia
email: mnarnisyah@gmail.com