Wajo — Di balik langkah tegas Pemerintah Kabupaten Wajo menyegel tambang ilegal yang kian meresahkan, tersingkap satu ironi : hingga kini, daerah ini belum memiliki Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (RPPLH) — dokumen strategis yang seharusnya menjadi kompas arah kebijakan lingkungan.
Penyegelan tambang ilegal oleh tim gabungan yang melibatkan Satpol PP, Dinas Lingkungan Hidup (DLH), DPMPTSP, Dinas PUPR, serta Camat Tempe, memang mendapat apresiasi luas. Namun, bagi Ketua Badan Pembentukan Peraturan Daerah (Bapemperda) DPRD Kabupaten Wajo, Amran, S.Sos., M.Si., penindakan ini harus diimbangi dengan perencanaan lingkungan yang kuat.
“Kami sangat mengapresiasi langkah pemerintah dalam menyegel tambang-tambang ilegal. Namun, harus diakui bahwa absennya RPPLH membuat kebijakan pengendalian dan perlindungan lingkungan belum terarah secara menyeluruh,” ujar Amran, Sabtu (21/6/2025).
RPPLH sendiri merupakan dokumen yang diwajibkan oleh UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Dokumen ini berfungsi sebagai dasar dalam penentuan daya dukung dan daya tampung lingkungan, pengendalian ruang, serta menjadi referensi dalam pemberian izin terhadap kegiatan yang berpotensi merusak lingkungan, termasuk aktivitas pertambangan.
“Tanpa RPPLH, kita tidak memiliki peta atau dasar ilmiah untuk menilai sejauh mana wilayah kita mampu menampung aktivitas seperti tambang. Ini rentan menimbulkan konflik, kerusakan lingkungan, bahkan pelanggaran hukum,” tutur Amran.
Ia menegaskan bahwa keberadaan RPPLH bukan sekadar syarat administratif, melainkan instrumen pengawasan, pengendalian dampak, dan perencanaan jangka panjang bagi tata kelola sumber daya alam yang adil dan berkelanjutan.
Amran mendorong Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Wajo agar segera memprioritaskan penyusunan RPPLH dengan menggandeng lembaga akademik, praktisi lingkungan, hingga masyarakat sipil.
“Kami di DPRD, khususnya Bapemperda, siap mendukung dari sisi regulasi. Tapi eksekutif harus bergerak cepat. Dokumen ini adalah pondasi, bukan pelengkap,” tambahnya.
Selain menyoroti ketiadaan RPPLH, Amran juga menekankan pentingnya integrasi antara perencanaan kebijakan dan pengawasan lapangan. Ia menilai bahwa penindakan semata terhadap tambang ilegal tanpa dasar perencanaan yang kokoh hanya akan melahirkan solusi jangka pendek.
“Kita tidak ingin penindakan tambang ilegal hanya bersifat reaktif. Dengan adanya RPPLH, Pemda Wajo bisa lebih proaktif, terukur, dan berkeadilan dalam mengelola sumber daya alam,” tutupnya.
Absennya RPPLH di tengah meningkatnya aktivitas pertambangan ilegal menjadi catatan kritis bagi Pemda Wajo. Jika tidak segera dibenahi, kebijakan lingkungan daerah akan terus berjalan tanpa arah, dan potensi kerusakan ekologi akan meluas. RPPLH bukan sekadar dokumen — ia adalah fondasi tata kelola lingkungan yang cerdas, terukur, dan berkelanjutan.